WALHI Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru
Pekanbaru – Senin, 23 Juni 2025—Upaya penertiban kawasan hutan oleh Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dilakukan secara sembrono dan tidak didasarkan pada perencanaan pemulihan. Kunjungan Satgas PKH pada 10 Juni 2025 menyampaikan perintah kepada seluruh masyarakat untuk relokasi secara mandiri dari kawasan TNTN. Proses relokasi ini dikabarkan paling lambat dilakukan pada 22 Agustus 2025. Proses ini dikhawatirkan menimbulkan letusan konflik besar, apabila Satgas PKH atas nama negara melakukan tindakan penertiban dengan pendekatan militeristik dan represif.
Selanjutnya, WALHI Riau melihat pola penyitaan aset kebun kelapa sawit di kawasan hutan dalam kasus Surya Darmadi dan PT Duta Palma tidak boleh terulang. Proses penyitaan hingga pengalihan aset kepada PT Agrinas Palma Nusantara, tidak menunjukkan upaya serius negara untuk memulihkan hak masyarakat adat dan lokal serta pemulihan lingkungan. Negara membiarkan perusahaan yang dibentuknya untuk melanggengkan konflik dan aktivitas ilegal di kawasan hutan.
Mengingat Ulang Riwayat Penetapan Taman Nasional Tesso Nilo
Kawasan yang kini menjadi TNTN awalnya merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang masuk dalam areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Inhutani IV. Ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik, yang mana diketahui ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarnya. TNTN juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.
Secara kebijakan, awalnya areal yang disiapkan menjadi Kawasan konservasi TNTN berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: SK.255/Menhut II/2004 tanggal 19 Juli 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 adalah seluas ±83.068 ha. Selanjutnya, luas ini diperbaharui secara definitif menjadi ±81.793 ha melalui Keputusan Menhut Nomor: Sk.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo. Olah citra satelit WALHI Riau menunjukkan kondisi areal tersebut pada 1997 dan 2004 mempunyai kerapatan hutan ±78.274 ha. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, dimana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan alam dari total luas arealnya. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan alam dari total luas arealnya.
Aktivitas Masyarakat di Taman Nasional Tesso Nilo
Secara administrasi TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi. Aktivitas masyarakat dipicu oleh tiadanya aktivitas PT Inhutani IV yang izinnya kemudian dicabut pada 2002. Aktivitas yang dilakukan masyarakat adalah berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar. Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005. Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN.
Berdasarkan laporan EoF yang sama, Kawasan Hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok hak ulayat. Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah ada enam desa terbangun di lokasi tersebut. Keenam desa itu yakni: Desa Air Hitam, Desa Lubuk Batu Tinggal, Desa Simpang Kota Medan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Kesuma, dan Desa Segati. Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Desa Bagan Limau. Perambahan pasca penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan kemudian dicabut. Selain itu, pasca 2004 juga tercatat ada satu aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer atau sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya perambahan di kawasan TNTN, seperti yang dilakukan PT RAPP.Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi. Aktivitas yang dilakukan berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet hingga akhirnya siap untuk ditanam. Namun hasil dari usaha perkebunan ini dinilai tidak sesuai harapan sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar. Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005. Hal ini yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan, cukong, hingga korporasi.
Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan kehutanan di buffer, hal lain yang membuat laju alih fungsi hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal. Pertama, peran penegak hukum yang tidak tegas menindak praktik ilegal ini. Bahkan masifnya alih fungsi dengan pendirian pemukiman malah diakui secara administratif oleh negara. Kedua, rencana pemulihan TNTN dengan program revitalisasi Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja telah menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020. Hal ini memperparah penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya.
Penertiban untuk Pemulihan TNTN dan Perlindungan Hak Masyarakat
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau menyebut penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan dengan dua semangat penting: menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup.
Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru menyebut penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan dengan dua semangat penting: menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup. Karena itu, menurut dia penertiban di kawasan TNTN harus dilakukan selaras dengan upaya penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat. Selanjutnya, proses ini harus dengan tegas memperhatikan beberapa kluster kelompok berdasarkan luas penguasaan. Beberapa kelompok yang harus dikluster, yaitu:
- Masyarakat yang menguasai kurang dari 5 hektar dan telah melakukan aktivitas lebih dari 5 tahun secara terus menerus (memperhatikan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2021);(memperhatikan ketentuan Pasal 110B ayat (2) UU 18/2013 sebagaimana diubah oleh UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja)
- Masyarakat atau perusahaan yang menguasai lebih dari 25 hektar (memperhatikan Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan); dan
- Masyarakat yang menguasai lahan antara 5-25 hektar (butuh identifikasi lebih lanjut apakah dapat dimasukkan ke kelompok pertama atau kedua).
“Ada masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap, beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial lainnya di lokasi tersebut selama belasan tahun. Adanya desa definitif dan sarana prasarana menunjukkan besarnya peran negara membiarkan atau bahkan mengakselerasi penguasaan dan aktivitas ilegal di sana. Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik,” ucap Andri.
Andri juga menegaskan, penegakan hukum kepada pemodal yang mempunyai areal perkebunan besar harus diutamakan. Hukum harus dikerjakan secara selektif dan tidak dengan mudahnya menyasar mereka yang lemah.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, mengatakan pemulihan kawasan TNTN harus ditinjau dari dua aspek, lingkungan hidup dan sosial.
“Kita sepakat bahwa upaya penertiban ini mendukung upaya pemulihan kawasan TNTN. Namun aspek sosial juga harus dipertimbangkan. Hal ini dapat dimulai dengan mengidentifikasi subjek dan objek pengelolaan. Upaya pemulihan TNTN juga sebaiknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat korban atau masyarakat terdampak. Pemberian waktu jangka benah yang patut dapat secara pararel dilakukan secara perlahan dengan proses pergantian tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan. Tidak menutup kemungkinan, pendekatan kemitraan konservasi dibuka untuk memberi ruang keberlanjutan hidup kepada masyarakat, bukan kepada tuan tanah atau pebisnis besar,” tambah Eko.
Menurut Eko, generalisasi tenggat waktu tiga bulan yang diberikan Satgas PKH untuk relokasi kepada semua pihak hanya akan memicu konflik besar. Relokasi ini bukan sekedar persoalan pindah rumah, jauh dari itu masyarakat harus memastikan pekerjaan pengganti untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah.
Guna menyelamatkan hutan alam tersisa di TNTN, pemerintah di berbagai level harus memastikan komitmen pengawasannya. Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras dengan aspek ekonomi berpotensi meningkatkan partisipasi untuk melindungi hutan alam tersisa, termasuk pemulihannya.
“Selain itu, preseden buruk, perampasan aset yang bermuara pada pengalihan pengelolaan PT Agrinas Palma Nusantara tidak boleh diulang. Negara harus tegas dalam komitmen pemulihan TNTN. Meminimalkan penggunaan tindakan represif dan penegakan hukum secara selektif harus jadi suatu yang integral guna menyelesaikan persoalan ini,” tutup Eko.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.