[vc_row][vc_column][vc_column_text]Pekanbaru, 24 Agustus 2025 — Pemerintah Kota Pekanbaru bersama DPRD dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) dinilai gagal melaksanakan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 262/Pdt.G/2021/PN Pbr yang mewajibkan perbaikan sistem pengelolaan sampah.

Kegagalan itu tampak dari peningkatan timbulan sampah, terutama plastik, di badan jalan, tidak tersedianya fasilitas pemilahan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), hingga ancaman kesehatan masyarakat dan lingkungan. Kebijakan pembentukan Lembaga Pengelola Sampah (LPS) di 83 kelurahan juga dinilai hanya fokus pada pengangkutan, tanpa menyentuh pengurangan dan pemilahan dari sumber.

Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, menyebut penempatan TPS tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. “Kebijakan ini terlalu terpaku pada pemindahan sampah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa memperkuat pencegahan dari sumbernya,” ujarnya.

Data WALHI menunjukkan penetapan lokasi TPS di Pekanbaru kerap berubah tanpa evaluasi. Tercatat 61 lokasi pada 2020, melonjak jadi 139 lokasi pada 2022, lalu menurun menjadi 63 lokasi pada 2023, dan kembali naik menjadi 87 lokasi pada 2025. Penutupan TPS juga memicu munculnya TPS ilegal, antara lain di Jalan Kaharuddin Nasution, Jalan Nelayan Rumbai, dan Jalan Arwana Marpoyan Damai.

Sri Wahyuni, penggugat dalam perkara pengelolaan sampah, menegaskan Pemko belum menjalankan kewajiban hukumnya. Hingga kini belum ada aturan pembatasan plastik sekali pakai, kebijakan pengurangan sampah belum optimal, dan TPA Muara Fajar masih beroperasi dengan sistem open dumping.

“Kurangnya tanggung jawab melaksanakan putusan ini mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengatasi masalah sampah,” kata aktivis lingkungan Ayu.

Kondisi di TPA Muara Fajar 2 juga disebut kian memprihatinkan. Tumpukan sampah tidak hanya menimbulkan bau, tetapi juga mencemari air tanah dan menghasilkan emisi gas metana.

Sementara itu, Pemko Pekanbaru tengah mendorong rencana konversi sampah menjadi energi listrik. Namun WALHI menilai langkah itu berpotensi meningkatkan ketergantungan pada produksi sampah dan menghasilkan polusi baru berupa dioksin yang berbahaya bagi kesehatan.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]