Jakarta – Novel dengan Judul “Dibalik Dinding Penampungan” menceritakannya kisah nyata para TKW (Tenaga Kerja Wanita) diluar negeri. Novel ini ditulis oleh Woro Januarti. Spesifikasi Novel 188 halaman dan Berat Novel 350 gram, di terbitkan oleh Pustaka Obor Indonesia, dengan nomor ISBN : 978-623-6421, terbitan tahun 2021. Novel ini sangat menarik dibaca dan layak untuk dijadikan bahan rujukan oleh berbagai pihak, terlebih lagi pihak pemerintah yang menangani masalah BMI (Buruh Migran Indonesia). Karena di dalam novel tersebut bukan hanya mengisahkan tentang pahit getir Tenaga Kerja Wanita dari Negara kita selama di penampungan hingga ke luar negeri, juga kisah-kisah tentang perempuan. Cerita ini seperti yang di utarakan oleh penulisnya sendiri Woro Januarti ke awak media, Jumat (14/01/2022).
Sinopsis Novel ini bukan hanya bercerita tentang “Aku”, tetapi juga tiga hal: perempuan, tentang dinamika pemeluk agama, juga kemiskinan di Indonesia. Pertama, tentang kisah perempuan-perempuan pejuang di Indonesia. Dari “Aku” yang sangat terkejut dengan keadaan para calon Buruh Migran dan keadaan penampungan yang sangat tidak manusiawi. Perjuangan para perempuan yang sangat mudah menjadi objek seksualitas, contohnya saat “Aku” hampir diperkosa oleh Mas Bayu, tokoh “Ratna” yang menjadi korban iming-iming uang si calo BMI “Ali”, juga tokoh perempuan lain di balik penampungan ini. Kedua, bagaimana “Aku” dan keluarganya mengagungkan kota suci, menerima lamaran “Mas I” dengan pemikiran “hal-hal baik di kota suci, jangan sampai kita tolak” tetapi malah akhirnya janji pernikahan yang siap dilaksanakan tersisa janji-janji yang menjadi akhir kisah antara “Aku” dan “Mas I”. Ketiga, Novel ini menggambarkan kemiskinan para tokoh sehingga harus menelan berbagai macam resiko dalam perjalanannya menjadi BMI. Seperti peraturan di penampungan yang mengharuskan para calon BMI memotong rambutnya seperti laki-laki. Rambut perempuan bagi kebudayaan Indonesia jelas penting, maka ada istilah “rambut adalah mahkota wanita” maka aura kecantikan akan terpancar dari rambutnya. Jika rambut menjadi hal yang harus dikorbankan atas nama kemiskinan, justru akan menjadi pertanyaan bagi kita sendiri, mengapa kemiskinan sampai sebegitunya memangkas hak perempuan, jadi sudahkah kita memerdekakan perempuan?.
Dalam wawancara, Woro mengatakan “Dulukan sebutannya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita), tetapi kalau sekarang menjadi Buruh Migran Indonesia. Sebelum dikirim ke luar negeri, para BMI tersebut ditampung di penampungan. Cerita novel ini diambil dari kisah nyata tapi tetap ada unsur fiksinya. Intinya, Saya itu mau menceritakan tentang dinamika di dalam penampungnya itu.
Walaupun banyak buruh Migran Indonesia yang berhasil membangun kehidupan keluarganya sampai satu kampung bener-benar membangun kampungnya tapi persen tansenya sedikit.Sedangkan sisa permasalahnya malah masih menumpuk.
Penulis Woro Januarti yang juga sekarang hampir menyelesaikan S3-nya di Wuhan University, China juga menjelaskan bahwa novel yang ditulis nya tersebut tidak langsung menceritan kisah TKW di luar negeri tapi semua kisahnya dimulai dari tempat penampungannya.
“Saya tidak mau cerita tentang diluar negeri nya dulu, ceritanya di mulai dari penampungannya dulu. Bagaimana orang Indonesia yang bekerja di penampungan itu menghadapi calon BMI itu pun mereka masih kasar. Sedangkan kan calon BMI notabenenya masih saudara sebangsa sendiri.” jelas Penulis Novel Dibalik Dinding Penampungan tersebut.
Dari Novel berjudul “Dibalik Dinding Penampungan “, Woro mengharapkan semoga pemerintah dapat memberikan pendampingan yang layak bahwa negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja Indonesia di sektor rumah tangga, bukanlah “babu” yang seolah-olah berkasta rendahan.
“Harapan saya, walaupun negara lain itu butuh tenaga kerja dari Indonesia tapi kita tetap ada harga diri, walaupun pekerja rumahan tapi harus di kasih tahu bahwa mereka tenaga kerja bukan pembantu. Pembantu itu kan awalnya membantu, tetapi saat ini masih ada kesan bahwa kasta mereka rendah, itu harapan saya kepada pemerintah untuk membangun citra di mata negara lain.”harap Woro Januarti.
Lebih lanjut Woro Januarti juga memaparkan bahwa orang asing tidak boleh sembarang menyiksa para Tenaga Kerja kita,dan pemerintah dapat merapikan sistem perlindungan dan penyaluran BMI tersebut.
“Orang Asing jangan sembarangan menyiksa atau memberikan intimidasi. Untuk calon BMI sendiri jangan gampang tergiur dengan iming iming. Dan mudah-mudahan pemerintah juga segera merapikan sistem. Kalau yang mau berangkat itu benar-benar dari pemerintah, jangan lagi ada yang tertipu, mana PJTKI resmi atau yang tidak resmi.
Kasihan sekali kalau yang calon BMI masuk ke PJTKI yang tidak resmi. Jadi kebanyakan calon BMI kan dari luar Jakarta, di daerah kan sulit ya mencari mata pencaharian, jadi pun jika ingin jadi BMI harus melewati sistem yang aman dan jelas.”terang Woro.
Woro juga membahas tentang psikologi dan latar belakang pendidikan para BMI. Secara latar belakang pendidikan, calon BMI bukanlah lahir dari pendidikan tinggi, oleh karena itu mereka harus didampingi keterampilan dan Bahasa secara maksimal.
Hal lainnya adalah bagaimana memberikan kurikulum persiapan psikologi calon BMI, sehingga di saat persiapan keberangkatan, BMI sudah siap dengan “culture shock” di negara tujuan. Kedua hal ini menjadi penting, karena mereka adalah pejuang ekonomi keluarga dan pejuang devisa negara.
Penulis Novel tersebut menerangkan tentang Tokoh utama didalam Novel tersebut dan tokoh tokoh lainya.”Tokoh utama dalam novel ini “Aku”, Saya sengaja tidak memberikan nama, karena “Aku” melambangkan kita semua. Awalnya dia itu putus cinta jadi pelariannya keluar negeri, jadi saya berpikir bahwa yang keluar negeri ini ada yang benar-benar membutuhkan uang, ada juga yang kabur dari masalah.
Nah cerita ini saya ambil tokoh “Aku” yang tidak butuh uang banget, ternyata tidak kuat mental ke luar negeri. Dia ini keluar negeri karena pelarian tidak jadi menikah kan. Jadi begitu sampai penampungan kaget ternyata keadaannya parah banget. Selain tokoh “Aku”, ada juga tokoh pembantu dari “Rini”, “Ipeh”, “Nur”, “Aci”, pokoknya dari berbagai macam background. Intinya berbagai macam lantar belakang, ada juga tokoh orang-orang kantor, seperti “Bayu” yang kebetulan suka dengan tokoh “Aku” itu.”papar Woro penulis Novel Dibalik Dinding Penampungan.
Kenapa judul Novel tersebut “Di balik Dinding Penampungan”? Woro menjelaskan dinding berfilosofi batas, juga penyekat. Dinding biasanya bermakna sebagai pemisah bangunan, tetapi di dalam novel ini bermakna penyekat juga pembatas antara manusia.
Bagaimana dinding dibangun begitu kokoh, seperti juga intimidasi kokoh yang dialami para pembantu baik di Indonesia dan BMI di luar negeri. Maka biasanya, penampungan dari luar dibuat begitu tinggi, kokoh, indah, tetapi tertutup. Dindingnya tinggi bukan hanya untuk mencegah para calon BMI kabur, tetapi juga menggambarkan betapa tertutupnya bangunan penampungan dan segala aktifitas yang terjadi di dalamnya.”Penampungan secara tempat dari luar terlihat bagus, itu kesan yang hendak dibangun oleh para pemilik modal Penampungan.
Tetapi nyatanya, di dalam dinding tidak seindah itu. Dinding tinggi dibangun untuk mencegah supaya mereka tidak kabur. Tetapi logikanya, kalau orang betah pasti tidak kabur, caranya bagaimana menghadapi calon BMI dengan pendidikan di bawah Sarjana? Ya berikan pemahaman yang benar. Pegawai yang bekerja di Penampungan saja memandang calon BMI ini ya orang orang bodoh, seharusnya tidak seperti itu. Harga diri dan professional harus dibangun sejak masih di Indonesia.
Menurut saya, BMI keluar negeri itu walaupun pekerja rumahan, dan orang luar negeri yang memakai jasa BMI kita, seperti Hongkong, Taiwan, Malaysia, Singapura, Negara Arab dan sebagainya harus memandang BMI professional, jadi tidak ada pandangan merendahkan. Selain masalah harga diri, masih banyak yang harus diperbaiki secara kurikulum pengajaran, contohnya ketika mau berangkat calon BMI tidak dikasih tahu suhunya berapa derajat, makanya mereka ke sana banyak yang sakit karena tidak mempersiapkan pakaian dingin. Kebiasan makan juga tidak diberi tahu.
Hanya diajarkan belajar Bahasa dan keterampilan membersihkan rumah. Mereka tidak diberikan contoh studi kasus-kasus BMI dan segala permasalahannya di sana, perlindungan hukum, serta culture shock setibanya di sana. Makanya saya berharap, membaca novel saya bukan hanya membaca, tetapi juga ada pergerakan ke arah perbaikan. Entah bagi pemerintah, perusahaan PJTKI, juga dari BMI sendiri. Tapi mulai saja dari yang kecil, bagaimana kita menghormati pekerja rumahan di rumah kita sendiri, bahkan barangkali ada peraturan pemerintah untuk para pemberi pekerjaan membelikan BPJS kepada pekerja di rumahnya.” Pungkas Woro Januarti.
1 Komentar
Komentar ditutup.