Pekanbaru, 19 September 2025 – WALHI Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru menyoroti jalannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Komisi VI DPR RI pada Senin, 15 September 2025, di Gedung Senayan, Jakarta. RDP yang disiarkan melalui kanal YouTube TVR Parlemen itu membahas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BP Batam untuk tahun 2026. Namun, rapat tersebut menuai kritik karena dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat terkait polemik proyek Rempang Eco City.

Kekerasan dan Pendekatan Tidak Humanis

Dalam forum RDP, BP Batam mengklaim relokasi warga Rempang berjalan tanpa kekerasan. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.

  • Pada 2 Mei 2025, BP Batam bersama tim terpadu melakukan penggusuran paksa atas lahan seluas lebih dari 8.000 m² milik Erlangga Sinaga di Kampung Tanjung Banun.

  • Pada 7 Agustus 2025, rumah milik Rusmawati di lokasi yang sama juga digusur paksa.

Proses penggusuran tersebut dinilai tidak manusiawi dan bahkan menimbulkan trauma, salah satunya dialami Nek Nur yang mendapat perlakuan tidak wajar.

Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, menegaskan bahwa pendekatan BP Batam sejak awal bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Pasal 2 ayat 1 UU tersebut menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. “Sejak awal, proyek ini tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” ujarnya.

Ketidakjelasan Data Relokasi

BP Batam menyebut sekitar 400 kepala keluarga (KK) telah menerima relokasi. Namun, klaim ini dipertanyakan karena tidak ada data resmi yang dipublikasikan mengenai penerima manfaat relokasi, termasuk status mereka apakah benar warga asli Rempang atau berasal dari daerah lain.

Mayoritas warga Rempang hingga kini masih menolak relokasi dan bersikeras mempertahankan kampung tua mereka. Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menyebut tindakan intimidasi dan penggusuran paksa melanggar hukum serta Hak Asasi Manusia (HAM).
“Setiap orang berhak mempertahankan kampung yang menjadi bagian dari ruang hidupnya, dan negara wajib menjamin hak tersebut. Jangan justru melanggengkan kekerasan,” tegasnya.

Menurut Andri, masyarakat Rempang selama ini mampu memenuhi kebutuhan hidup dari kebun dan laut. Karena itu, proyek Rempang Eco City justru dipandang sebagai ancaman bagi ruang hidup mereka ke depan.

Kritik Terhadap Komisi VI DPR RI

WALHI Riau juga menilai Komisi VI DPR RI gagal berpihak pada masyarakat Rempang. RDP dinilai lebih fokus membahas anggaran dan kemajuan investasi, tanpa menyinggung isu hak ulayat, trauma warga akibat kekerasan, maupun laporan kriminalisasi masyarakat yang sudah diungkap Ombudsman dan Komnas HAM.

“BP Batam mengklaim relokasi berjalan humanis, tapi faktanya warga kehilangan akses laut sebagai sumber utama penghidupan mereka. Komisi VI seolah menutup mata terhadap penderitaan warga Rempang,” ujar Ahlul Fadli.

Tuntutan WALHI dan YLBHI

WALHI Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru mendesak:

  1. BP Batam menghentikan pendekatan represif serta menghormati hak warga atas tanah dan ruang hidup.

  2. Komisi VI DPR RI meningkatkan fungsi pengawasan terhadap kinerja BP Batam, bukan sekadar mendukung kelanjutan PSN Rempang Eco City tanpa solusi nyata bagi masyarakat.

Hingga kini, perjuangan masyarakat Rempang untuk mempertahankan kampung tua mereka masih terus berlanjut.