Pekanbaru, 28 Oktober 2025 – Setiap tanggal 28 Oktober, generasi muda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Deklarasi yang dilakukan 97 tahun lalu itu menjadi simbol persatuan dan perjuangan kaum muda dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Semangat tersebut, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, harus diwujudkan melalui gerakan nyata untuk mendesak pemerintah mewujudkan keadilan iklim dan antargenerasi.
WALHI Riau menilai, momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini penting bagi generasi muda untuk menghentikan praktik buruk politik elektoral di Indonesia. Selama ini, kaum muda kerap hanya dijadikan alat politik saat pemilu, namun tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang lahir sering kali tidak mengakomodasi kepentingan generasi muda dan kelompok rentan.
Selain itu, orang muda juga didorong memanfaatkan forum-forum internasional untuk menyuarakan keadilan iklim, termasuk Conference of the Parties (COP). Mereka perlu mendesak pemerintah agar menggunakan forum COP-30, yang akan berlangsung pada 10–21 November 2025 di Brasil, untuk memperjuangkan solusi nyata terhadap krisis iklim global.
Direktur WALHI Riau Eko Yunanda menilai, pertemuan COP sebelumnya hanya menjadi ajang kongsi dagang yang mencari peluang bisnis di tengah krisis iklim. Padahal, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum efektif menekan laju pemanasan global.
“Sumpah Pemuda tahun ini harus dimanfaatkan orang muda sebagai momentum untuk menuntut pemerintah menjalankan mandat rakyat, menjadikan isu krisis iklim sebagai prioritas dalam penyusunan kebijakan, termasuk kebijakan yang akan dibahas dalam forum COP-30 mendatang,” ujar Eko.
Sementara itu, Kunni Masrohanti, Dewan Daerah WALHI Riau, menegaskan bahwa dampak krisis iklim telah nyata dirasakan masyarakat Riau, mulai dari krisis pangan, air, abrasi, cuaca ekstrem, hingga banjir. Menurutnya, salah satu penyebab utama kondisi tersebut adalah maraknya industri ekstraktif yang mengubah hutan Riau menjadi perkebunan kayu, kelapa sawit, dan tambang.
Kunni juga menyoroti penerbitan izin tambang pasir laut atau silika di wilayah pesisir Riau, termasuk lima izin tambang di hilir Sungai Kampar atau kawasan Bono, Kabupaten Pelalawan. Padahal, kawasan itu merupakan ikon pariwisata Riau dan masuk dalam prioritas pengembangan Kawasan Strategis Provinsi Riau berdasarkan rancangan awal RPJMD 2025–2029.
“Keberadaan izin tambang jelas berdampak buruk bagi lingkungan dan mengancam ruang hidup masyarakat pesisir. Ini akan memperparah krisis iklim dan menempatkan kelompok rentan, terutama perempuan, sebagai korban. Gubernur Riau harus segera mengevaluasi seluruh izin tambang di perairan Bono sebagai wujud nyata komitmen menghadapi krisis iklim,” tegas Kunni.
Senada dengan itu, Ismail, Ketua Mapala Humendala FEB Universitas Riau, mengajak seluruh generasi muda untuk bersatu menyerukan tuntutan keadilan iklim. Pemerintah pusat dan daerah, katanya, harus memastikan terpenuhinya komitmen penanganan krisis iklim dengan langkah nyata, seperti mengevaluasi industri ekstraktif, melakukan transisi energi bersih berkeadilan, memperbaiki sistem pengelolaan sampah, membenahi tata kota yang ramah lingkungan, dan menyediakan transportasi publik yang layak.
“Sebagai orang muda, kita harus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika krisis ini terus dibiarkan, maka tidak akan ada masa depan yang baik bagi generasi berikutnya. Tidak ada masa depan di bumi yang rusak. Wujudkan keadilan antargenerasi sekarang juga!” tutup Ismail.




Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.