Oleh: Bobby Ciputra – Ketua AMSI (Angkatan Muda Sosialis Indonesia)
Mengapa dunia begitu lama mengecewakan Palestina?
Pertanyaan sederhana ini mengguncang nurani umat manusia. Puluhan tahun resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dikeluarkan, puluhan kali perundingan digelar, namun hasilnya tetap buntu. Palestina masih dijajah, hak rakyatnya terus dirampas. Dunia tampak sibuk berbicara, tetapi lumpuh untuk bertindak. Dari kegagalan panjang inilah, lahir kebutuhan akan sebuah jalan baru.
Ketiadaan Kekuatan yang Sejajar
Selama beberapa dekade, impian akan negara Palestina yang merdeka hancur oleh konflik berkepanjangan, janji-janji politik yang diingkari, dan ketidakpedulian global. Negara-negara Muslim hanya bergantung pada forum seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang suaranya lantang namun tindakannya minim.
Sistem keamanan internasional terbukti tidak lagi mampu menegakkan keadilan. Bahkan banyak negara Eropa dan Amerika Latin ikut mengkritik PBB karena gagal melindungi rakyat Palestina. Pada Sidang Umum PBB September 2025, negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Turki, dan Afrika Selatan menyuarakan dukungan kuat bagi kemerdekaan Palestina. Qatar dan Yordania turut mengecam ketidakmampuan PBB dalam bertindak tegas.
Dukungan 142 negara terhadap Palestina di forum PBB menunjukkan solidaritas global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pengakuan resmi terhadap Negara Palestina oleh Prancis, Belgia, Kanada, Australia, dan Inggris dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80 menjadi sinyal kuat perubahan geopolitik dunia. Namun, dukungan diplomatik saja tidak cukup. Palestina membutuhkan perlindungan nyata.
Eskalasi konflik di Timur Tengah dan kegagalan lembaga internasional menunjukkan satu hal: negara-negara Muslim harus menciptakan kekuatan mereka sendiri.
Lahir dari Krisis
Dari ketidakadilan inilah muncul kesadaran baru bahwa dunia Islam tidak bisa lagi bergantung pada belas kasihan pihak luar. Gagasan yang dulu dianggap utopis kini menjadi kebutuhan mendesak.
Negara-negara Muslim harus berani membangun aliansi modern yang terinspirasi dari konsep Uni Eropa dan NATO, tetapi dengan jati diri dan tujuan yang berbeda. Gagasan ini bisa diwujudkan melalui pembentukan Uni Ummah, sebuah aliansi multidimensi yang menggabungkan kekuatan pertahanan, ekonomi, teknologi, dan kemanusiaan.
Bayangkan sinergi kekuatan finansial Arab Saudi, teknologi militer Turki, kemampuan nuklir Pakistan, dan sumber daya manusia besar dari Indonesia, Iran, serta Mesir. Secara numerik, Uni Ummah berpotensi memiliki lebih dari enam juta personel militer aktif, melampaui kekuatan gabungan NATO.
Namun keunggulan sejatinya bukan hanya pada aspek militer, melainkan pada kendali jalur perdagangan strategis dunia: Terusan Suez, Selat Bosporus, Selat Hormuz, hingga Selat Malaka. Jalur-jalur vital ini berada dalam wilayah negara-negara Muslim—penghubung utama bagi ekonomi global. Tanpa jalur tersebut, perdagangan dunia akan lumpuh. Ditambah lagi, negara-negara Muslim menguasai sekitar 65 persen cadangan minyak dan 45 persen cadangan gas alam dunia. Dengan sumber daya sebesar ini, Uni Ummah akan memiliki daya tawar ekonomi yang luar biasa.
Solidaritas dari Laut
Gelombang solidaritas dunia terhadap Palestina juga datang dari laut. Aksi Global Sumud Flotilla, armada sipil kemanusiaan terbesar dalam sejarah, berlayar untuk menembus blokade Israel dan membawa bantuan ke Gaza.
Flotilla yang terdiri atas 50 hingga 70 kapal dengan delegasi dari 44 negara di enam benua, berangkat dari Spanyol pada 31 Agustus 2025. Setelah bergabung dengan armada kedua di Tunisia, mereka menempuh jarak sekitar 3.000 kilometer menuju Gaza. Namun pada 1 Oktober 2025, sekitar 70 mil laut dari pesisir Gaza, Angkatan Laut Israel menghadang dan menahan sekitar 500 aktivis dari lebih 40 negara—termasuk aktivis iklim Swedia, Greta Thunberg.
Penahanan itu memicu gelombang demonstrasi di berbagai kota besar dunia—dari Aljazair, Libya, hingga Italia, Spanyol, dan Indonesia. Aksi ini membuktikan bahwa solidaritas lintas negara dan agama mampu mengguncang opini publik internasional.
Flotilla bukan sekadar misi kemanusiaan. Ia adalah simbol perlawanan moral dan bukti bahwa tekad untuk menegakkan keadilan tidak mengenal batas negara.
Mengapa Dunia Membutuhkan Uni Ummah
Pembentukan Uni Ummah bukan hanya untuk membela Palestina, tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan baru dalam tatanan dunia. Dunia yang multipolar akan lebih stabil karena kekuatan tersebar di berbagai pusat, bukan dimonopoli oleh satu blok saja.
Eropa, misalnya, akan mendapatkan stabilitas pasokan energi yang lebih terjamin melalui kemitraan dengan Uni Ummah. Ketergantungan pada satu atau dua produsen utama akan berkurang, sehingga risiko gejolak harga dan krisis energi bisa ditekan.
Selain itu, dengan populasi lebih dari 1,8 miliar jiwa dan ekonomi yang terintegrasi, Uni Ummah akan menjadi pasar tunggal terbesar di dunia. Standarisasi regulasi dan penggunaan mata uang bersama akan mempermudah akses perdagangan dan investasi lintas kawasan. Negara-negara kaya seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Qatar dapat menjadi investor utama dalam proyek infrastruktur dan teknologi hijau di Eropa dan Asia.
Dalam konteks global, kehadiran Uni Ummah akan menjadi kutub ketiga yang melengkapi hubungan antara Barat dan BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan UEA). Beberapa negara Muslim seperti Iran, UEA, dan Indonesia yang kini bergabung dengan BRICS bisa menjadi jembatan alami antara kedua blok tersebut.
Kolaborasi antara Eropa, BRICS, dan Uni Ummah dapat menciptakan segitiga kerja sama yang saling menguntungkan: Eropa menyediakan teknologi dan pasar, BRICS fokus pada manufaktur dan inovasi, sementara Uni Ummah menjadi penyedia energi, sumber daya, dan stabilitas geopolitik.
Penutup
Gagasan pembentukan Uni Ummah bukan sekadar proyek politik, melainkan refleksi atas keinginan umat manusia untuk menciptakan keadilan global yang sejati. Dunia yang multipolar, dengan keseimbangan antarblok, akan lebih tangguh menghadapi krisis dan lebih adil bagi semua bangsa.
Palestina mungkin menjadi alasan pertama untuk memulainya, tetapi tujuan akhirnya jauh lebih besar: membangun tatanan dunia yang damai, setara, dan beradab bagi seluruh umat manusia.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.