Oleh: Edi Susanto (Edi Cindai), Penggiat Anti Korupsi, Pemerhati Lingkungan, Ketua Umum CINDAI Kepri

Terdakwa kasus korupsi importasi gula, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam putusan 18 Juli 2025 disebut hakim cenderung mengedepankan sistem ekonomi kapitalis. Vonis ini menarik, karena Indonesia sejatinya menganut sistem ekonomi Pancasila yang mengutamakan keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Namun, publik lantas bertanya: bila Tom Lembong dinilai kapitalis, bagaimana dengan kebijakan Gubernur Kepri Ansar Ahmad yang melelang pengelolaan Kawasan Gurindam 12 Tanjungpinang selama 30 tahun kepada investor? Apakah ini bukan wajah kapitalisme di tingkat daerah?


Kapitalisasi Ruang Publik

Taman Gurindam 12 di tepi laut Tanjungpinang selama ini menjadi ruang publik warga sekaligus sumber rezeki pedagang kecil dan UMKM. Namun sejak 28 Agustus hingga 15 September 2025, kawasan ini resmi dilelang melalui panitia pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD).

Pelelangan ini berpotensi mengubah wajah Gurindam 12 dari ruang rakyat menjadi zona bisnis oligarki. Pedagang kecil yang hanya mengais rezeki harian, bisa tergusur oleh kepentingan pemodal besar.

Padahal, pembangunan Gurindam 12 sejak era Gubernur Nurdin Basirun hingga kini menghabiskan lebih dari Rp 500 miliar uang APBD. Apakah wajar bila hasil pembangunan dari uang rakyat justru berpindah ke tangan segelintir investor?


Masalah Lingkungan dan Regulasi

Gurindam 12 berdiri di atas reklamasi pesisir. Sesuai UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, reklamasi wajib melalui kajian AMDAL, izin lokasi, dan izin pengelolaan. Publik berhak tahu: apakah izin-izin ini ditempuh secara transparan?

Selain itu, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang menegaskan ruang publik tidak boleh dikomersialisasi berlebihan. Bila jalan tepi laut berubah menjadi kawasan bisnis tertutup, maka pemerintah berpotensi melanggar prinsip tata ruang.


Orientasi untuk Siapa?

Sejauh ini, tidak jelas berapa persen ruang usaha Gurindam 12 yang benar-benar dialokasikan untuk UMKM lokal. Yang sering disorot justru peluang investasi besar dan event seremonial. Orientasi kawasan tampak lebih condong ke investor ketimbang pemberdayaan masyarakat pesisir.

Pertanyaan publik sangat sederhana:

  • Berapa total biaya pembangunan hingga kini?

  • Siapa kontraktor utama dan siapa investor yang akan mengelola?

  • Berapa persen ruang usaha untuk UMKM lokal?

  • Apakah ada kompensasi untuk nelayan terdampak reklamasi?

Tanpa jawaban yang transparan, pelelangan ini akan semakin dianggap sebagai praktik kapitalisasi ruang publik.


Dari “Untuk Rakyat” ke “Untuk Pemodal”?

Hakim menyematkan label “kapitalis” kepada Tom Lembong karena kebijakannya. Maka wajar jika publik menuding hal serupa kepada Gubernur Kepri bila Gurindam 12 benar-benar jatuh ke tangan oligarki.

Pembangunan seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Kepri, bukan sekadar proyek mercusuar yang memperkaya investor. Jika ruang publik berubah menjadi ruang komersial, maka pembangunan telah bergeser dari semangat “untuk rakyat” menjadi “untuk pemodal”.


Ujian Gubernur Kepri

Kini bola ada di tangan Gubernur Ansar Ahmad. Ia harus membuktikan apakah pengelolaan Gurindam 12 benar-benar berpihak pada pedagang kecil dan masyarakat pesisir, atau sekadar memperkuat oligarki.

Jika keberpihakan tidak jelas, publik pantas menilai bahwa Gubernur Kepri tak ubahnya tokoh kapitalis di level daerah—sebagaimana hakim menuding Tom Lembong di tingkat nasional.