Pekanbaru – Korporasi kembali menjadi pusat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lansekap Senepis. Hal ini dibuktikan dengan penyegelan dua perusahaan di pesisir utara Provinsi Riau tersebut oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkumhut) tanggal 4 Agustus 2025 yaitu PT Diamond Raya Timber (DRT) dan PT Ruas Utama Jaya (RUP). Penyegelan ini dilakukan atas kebakaran seluas ±100 ha yang terjadi di dua konsesi perusahaan tersebut.

Senepis merupakan bentang alam seluas ±322.183,74 ha dengan tutupan hutan, sungai, dan mangrove yang berada di Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai. Bentang alam ini awalnya merupakan rumah bagi Harimau Sumatera, namun alih fungsi hutan menyebabkan rusaknya habitat satu-satunya spesies harimau yang tersisa di Indonesia. Sebab 55,97% lanskap senepis telah didominasi oleh perizinan korporasi. Dominasi ini yang kemudian menyebabkan banyaknya kerusakan lingkungan hidup, termasuk karhutla seperti yang saat ini terjadi di lanskap senepis.

Berdasarkan analisis spasial WALHI Riau menggunakan satelit Aqua dan Terra, selama tahun 2025 hotspot dengan confidence level di atas 70% telah berulang kali muncul di dua perusahaan ini. Artinya ada indikasi kebakaran terjadi berulang kali terjadi namun baru kali sekarang disegel. Berikut rincian hasil analisis hotspot WALHI Riau.

Tidak saja tahun ini, dua perusahaan ini merupakan langganan karhula yang hampir setiap tahun ditemukan hotspot di areal kerja mereka. Terlebih PT DRT, sepanjang enam tahun terakhir hanya pada tahun 2022 tidak ditemukan hotspot di konsesi perusahaan tersebut. Selain perusahaan ini, riwayat karhutla di lanskap senepis juga terjadi di lokasi perizinan lainnya, yaitu PT Suntara Gajapati (SGP) dan PT Sindora Seraya. Berikut riwayat hotspot di lanskap senepis dalam areal kerja korporasi.

Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau menyebut riwayat karhutla di areal kerja perusahaan semakin mempertegas lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi pelaku karhutla. Hasil analisis WALHI Riau memperlihatkan bahwa PT DRT merupakan perusahaan langganan karhutla. Namun tidak sekalipun perusahaan tersebut dijatuhi hukuman oleh para penegak hukum. Sedangkan PT RUJ dan PT SGP pernah ditetapkan sebagai tersangka. Namun kedua perusahaan terselamatkan oleh Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Riau pada tahun 2016 lalu karena dinilai tidak cukup bukti.

“Tidak ada alasan lagi bagi penegak hukum untuk tidak menetapkan korporasi di lanskap senepis menjadi tersangka karhutla. Kebakaran yang berulang merupakan bukti yang sangat kuat karena perusahaan tidak mampu melakukan pencegahan karhutla di areal kerjanya.,” ujar Boy.

Darwis Joon Viker, Dewan Daerah WALHI Riau mengatakan selain persoalan karhutla, dominasi korporasi juga menyebabkan deforestasi akibat alih fungsi hutan secara masih yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem gambut dan mangrove di lanskap Senepis. Hal ini kemudian berkontribusi atas berkurangnya jumlah Harimau Sumatera setiap tahunnya di lokasi tersebut. Selain itu, kegagalan menjaga areal kerja tidak hanya menyebabkan karhutla, tapi juga menjadi pemicu konflik lahan seluas ±57.949,65 ha.

“Kerusakan atas lingkungan hidup hingga persoalan konflik lahan sudah menjadi dasar bagi Pemerintah melakukan reviu izin dan audit kepatuhan perusahaan di lanskap senepis. Bahkan Kementerian Kehutanan sudah layak mencabut perizinan perusahaan-perusahan tersebut. Karena sudah banyak catatan pelanggaran yang dilakukan. Tidak saja bagi lingkungan, kelangsungan hidup satwa, bahkan merampas hak atas lingkungan yang baik dan sehat masyarakat di lanskap senepis dan sekitarnya akibat karhutla,” ucap Darwis.

Lebih lanjut, Darwis mengatakan bahwa Presiden harus memerintahkan penegakan hukum bertindak tegas dan menyasar perusahaan-perusahaan yang berulang terlibat karhutla. Terlebih pasca arahan Presiden Prabowo saat rapat terbatas tanggal 3 Agustus 2025. Sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan bahwa Prabowo tidak memberi toleransi dan meminta pertanggungjawaban korporasi atas kebakaran yang terjadi di areal kerjanya.

“Kita nantikan apakah Presiden serius dengan instruksi penegakan hukum terhadap korporasi atau ini hanya sekadar gimik belaka. Jika tidak ada perusahaan yang dihukum atas kebakaran di areal kerjanya, artinya Presiden seakan tidak peduli atas bahaya yang sedang mengancam lingkungan dan keberlangsungan hidup rakyatnya. Hal ini dapat dimulai dengan menetapkan perusahaan yang telah disegel sebagai tersangka karhutla kemudian dilanjutkan menciutkan bahkan mencabut perizinan perusahaan tersebut, terutama PT DRT, PT RUJ dan PT SGP yang berada di lanskap Senepis,” tutup Darwis.