Penilus : Herwin Saputra, S.Sos
Pimpinan Redaksi Media Titah News
Opini – Pada era digital dan pesatnya pertumbuhan tehnologi semakin banyak peluang yang dapat diakses oleh masyarakat, peluang tersebut bisa di sisi positif dan bisa juga di sisi negatif. Pernah kita menduga bahwa kemajuan tehnologi ini akan mempersempit pelaku KORUPSI terutama di dalam birokrasi pemerintahan. Tapi sebaliknya yang kita lihat saat ini, semakin mudah bagi pelaku Koruptor bahkan bukan lagi bersembunyi tapi terang-terangan di tengah masyarakat melakukan Korupsi.
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud mengambil keuntungan untuk pribadi maupun kelompok yang bertentangan dengan kebenaran atau melanggar hukum. Biasanya korupsi ini sangat indentik dengan kekuasaan, mengunakan orang dekat yang berkuasa, atau menyalah gunakan kepercayaan yang diberikan. Namun Korupsi saat ini bukan lagi secara diam-diam, melainkan terang-terangan dan dilakukan berjamaah.
Menjadi berita viral baru-baru ini Korupsi di Pertamina yang dilakukan berjamaah merugikan negara mencapai 1000 Trilian dalam kurun waktu 5 tahun. Apa yang membuat mereka begitu berani melakukan tindak pidana Korupsi tersebut? Miskinkah dia? Kurangkah gaji mereka? atau apakah mental anak bangsa sudah begitu bobrok, sehingga tidak tahu akibat dari yang mereka lakukan?
Direktur Pertamina digaji oleh negara perbulan 3,5 Miliar, apakah kurang uang segitu untuk kebutuhan hidupnya? Sedangkan berdasakan kajian kebutuhan masyarakat Indonesia sebulan rata-rata hanya membutuhkan biaya hidup Rp. 4.500.000,- dimana ditetapkan sebagai UMK untuk pekerja oleh pemerintah. Artinya jika Direktur Pertamina memiliki kebutuhan yang banyak, 100 Juta sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup sebulan.
Dari sekian banyak alasan mereka melakukan Korupsi adalah karena serakah dan tidak beriman sehingga tidak pernah puas dari apa yang mereka dapatkan. Hal ini pernah disampaikan dalam teori GONE ditulis oleh Jack Bologna. Pengertian dari GONE, Greedy (Keserakahan) Opportunity (Kesempatan) Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Kesimpulan kata-kata tersebut adalah tidak pernah puas.
Keserakahan akibat nafsu yang tidak terkendali, bukan dia tidak beragama tapi akal sehat sudah dikalahkan oleh nafsu yang lebih besar dari pada imannya. Orang serakah tidak pernah memikirkan bagaimana orang lain di sekitarnya. Dia tidak peduli apakah itu bukan hak dia dan selalu punya banyak cara untuk mengambil yang bukan hak mereka.
Kesempatan, akibat dari lemahnya pengawasan atau hukum di suatu negara, dalam hal ini bukan UU nya yang harus diperbaiki tapi pelaksana penegakan hukum. Biasanya lemahnya penegakan hukum karena oknum pejabat penegak hukum tersebut dapat dibeli, kata lain ikut mengambil bagian dari hasil Korupsi tersebut.
Kebutuhan, semua manusia pasti punya kebutuhan. Jika kebutuhan tidak terkendalikan, maka ini akan membuat manusia menjadi buas. Perlu kita ingat bersama, kebutuhan bagi manusia tidak akan pernah cukup dalam hidupnya. Biasanya kebutuhan ini di pengaruhi oleh Gaya Hidup. Jika kita lihat gaya hidup pejabat maupun pengusaha papan atas sangat jauh dari kehidupan masyarakat biasa. Dan ini menjadi trend dan kebanggaan mereka saat dipertontonkan kepada rakyat dimana untuk makan saja sulit baginya. Kebutuhan yang glamor ini tidak akan pernah habisnya karena mengikuti trand yang seolah di perlombakan.
Pengungkapan, sulitnya pengungkapan dalam tindak pidana kurupsi sering kali kita mengatakan lemahnya penegakan hukum. Namun jika kita kaji lebih dalam sebenarnya bukan sulit mengungkapkan tapi kejahatan tersebut sudah dilakukan berjamaah. Perbuatan merampok uang rakyat tersebut dilakukan secara terstruktur dari atas hingga bawah. Biasanya pelaku membuat suatu skenario untuk memanipulasi sehingga publik tidak curiga dengan apa yang mereka rampas. Dalam hal ini Oknum Pengawasan (Aparat Berwenang) dan oknum yang punya kebijakan ikut serta dalam skenario tersebut. Hal ini yang membuat sulit untuk mengungkap suatu kejahatan tersebut.
Dari beberapa pandangan yang saya paparkan, jadi pertanyaan bagaimana cara meberantas Koruptor di Indonesia? Jika kita jujur dan tidak terlibat atau tidak ada niat untuk melakukan Korupsi, maka pastilah tidak ada yang keberatan jika Koruptor dimiskinkan dan dihukum mati. Belajar dari beberapa negara yang dulunya sebagai negara terbanyak melakukan Korupsi dan menerapkan Hukuman Mati, sekarang masyarakatnya sudah takut melakukan hal tersebut. Efek jera yang menjadi contoh saat eksekusi mati menjadi pengalaman dan tidak berani melakukan dan tidak punya niat lagi untuk malakukan.
Melakukan Korupsi dapat menghancurkan negara, maka Koruptor adalah penghianat negara yang layak untuk di hukum mati.
Untuk mencapai cita-cita negara menjadikan Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai jika penghianat negara masih bergentayangan menggerogoti uang rakyat. Koruptor akan selalu berkembang jika hukuman yang di berikan penjara beberapa tahun saja. Sekalipun di publikasikan mereka sebagai Koruptor, mereka tidak akan ciut karena rasa malu sudah habis. Bagi mereka yang penting masih hidup dan hasil korupsi tersimpan rapi. Jika bebas dari hukuman maka dia akan menikmati hasil tersebut.
Contoh yang tidak baik ini akan ditiru oleh yang lain merampas uang rakyat selagi bisa jika ketahuan jalani hukuman beberapa tahun dan setelah itu menikmati hasilnya. Bahkan ada contoh mantan Koruptor masih dipakai negara masuk kedalam sistem pemerintahan dimana akan membuka celah bagi mereka melakukan Korupsi kembali.
Menuju Indonesia Emes 2045 maka Indonesia harus terapkan Hukuman Mati bagi Koruptor. Sebesar apa pun pendapatan negara dan sebesar apapun pajak yang di ambil oleh negara jika Koruptor masih berkeliaran semua akan menjadi sia-sia dan hanya rakyat yang akan menderita. Untuk Indonesia Bersih perlu pemimpin yang Berani, Tegas, Jujur dan Bijaksana.